Rupiah Kembali Melemah; Sederhanakan Aturan Ekspor-Impor  

 

Kedatangan pandemi Covid-19 yang berasal dari China ini berhasil meluas dan memporak-porandakan perekonomian dunia. Adanya pandemi ini menjadi pemicu krisis baru di berbagai negara termasuk Indonesia. Salah satu yang paling bisa kita lihat dari laman cnbcindonesia.com yaitu nilai tukar dolar terhadap rupiah kembali tergelincir di angka Rp 14.880 (updated: 09:09:38 WIB; 14/09/2020).

Berlakunya Work From Home akan menyulitkan para pekerja ataupun perusahan untuk mendapatkan penghasilan secara bersentuhan langsung, bahkan ekspor yang ada juga mulai melambat, pendapatan negara melemah dan rupiahpun jatuh kembali. Banyak kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian serta mengurangi beban masyarakat. Mengutip dari bisnis.tempo.co, kementrian bidang Perekonomian dan  Perdagangan Indonesia merilis empat kebijakan yang mempermudah proses ekspor dan impor di Indonesia.

Pertama, pemerintah akan menyederhanakan aturan larangan pembatasan atau tata niaga terkait ekspor, mulai dari aturan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK), health certificate, dan surat keterangan asal.

Kedua, pemerintah mengurangi larangan pembatasan tata niaga terhadap impor, terutama impor bahan baku. Pengurangan pembatasan impor bahan baku ini supaya tidak terkendala di dalam proses impornya.

Kebijakan ketiga, pemerintah akan melakukan percepatan proses impor terhadap 500 importir terpercaya (reputable importer) untuk memperlancar pemasukan bahan baku dan bahan penolong industri.

Keempat, pemerintah akan mengurangi biaya logistik dan melakukan efisiensi dalam proses distribusi barang. Dalam hal ini, pemerintah mendorong integrasi Indonesia National Single Window (INSW) dengan Inaportnet melalui pembentukan National Logistics Ecosystem untuk mengurangi biaya logistik di pelabuhan.

Hal ini sejalan dengan teori Michael p Todaro (seorang begawan di bidang ekonomi dan studi pembangunan) bahwa karekteristik negara berkembang bergantung pada produksi pertanian dan produk-produk pokok ekspor. Dengan bergantung nya Indonesia pada produk komoditi ekspor maka kebijakan pemerintah Indonesia dalam melakukan kebijakan menyederhanakan perizinan untuk ekspor dan impor memang harus diterapkan, demi mengatasi krisis ekonomi yang terjadi saat ini.

Dari catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), sektor pertanian dan perkebunan berada di posisi positif di tengah pandemi. Artinya, sektor ini bertahan dalam melakukan ekspor untuk komoditas kapulaga, karet, kopi, hingga produk turunan kelapa sawit.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat kinerja sektor pertanian dan perkebunan masih positif di tengah perlambatan ekonomi akibat pandemi covid-19. Ini ditandai dengan masih jalannya proses ekspor untuk beberapa komoditas, seperti kopi, kapulaga, karet, kelapa, hingga produk turunan kelapa sawit, terutama di sejumlah daerah.

Seorang Ekonom Piter Abdullah menilai bahwa kinerja ekspor pertanian dan perkebunan memang masih positif. Namun, hal itu juga perlu dibarengi dengan perbaikan sektor lain agar bisa mendorong ekonomi. Sebab, jika hanya bergantung ke sektor perkebunan komoditas tak bisa menahan perlambatan ekonomi.

Di sisi lain juga diperlukan perbaikan secara struktural dari sistem industri agar setiap produk pertanian komoditas dikelola terlebih dahulu sehingga bisa memberi nilai tambah. Seperti kopi arabika Gayo yang belum lama ini diekspor sebanyak 57,6 ton ke Amerika. Kopi milik Koperasi Baitul Qiradh Baburrayan (KBQ Baburrayan) ini berhasil diekspor dengan nilai Rp4,2 miliar. Dengan terbukanya kembali ekspor di masa normal baru ini, bisa mendongkrak program Gerakan Tiga Kali Lipat Ekspor (Gratieks) yang dicanangkan pemerintah.

Selain itu, kelapa asal Sulut yang telah diolah dalam bentuk parut, diminati masyarakat Brasil. Dibukanya kembali pintu ekspor ketika new normal waktu itu berhasil mengekspor 104 ton kelapa parut ke Negeri Samba tersebut. Biasanya kelapa parut Sulut di ekspor ke negara-negara di benua Asia dan Eropa.

Mengambil informasi dari antaranews.com, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan sektor pertanian tumbuh 16,4 persen di tengah tekanan pandemi covid-19. Hal ini seiring meningkatnya ekspor sayuran ke sejumlah negara serta kebutuhan masyarakat akan produk pertanian dalam negeri.  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor komoditas buah Indonesia sepanjang Januari-Juni 2020 tumbuh 23,21% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya menjadi senilai US$ 430,4 juta.

Di luar sektor pertanian dan perkebunan ternyata Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih mampu menembus pasar ekspor. Diakses di laman kumparan.com, UMKM produk kerajinan asal Daerah Istimewa Yogyakarta  ini mampu menembus pasar di beberapa negara Eropa seperti Belgia, Spanyol, Inggris dan Perancis. Hal ini menunjukkan jika UMKM beberapa kali terbukti menjadi golongan yang tahan terhadap krisis.

Kabar baik juga didengar dari sektor perikanan, dalam laman merdeka.com tertulis volume ekspor Januari sampai Maret 2020 mencapai 295,13 ribu ton. Meningkat 10,96 persen dibanding periode yang sama tahun 2019. Nilai ekspor kumulatif hasil perikanan pada triwulan pertama 2020 mencapai USD 1,24 miliar. Menteri Kelautan dan Perikanan  Edhy Prabowo telah mengusulkan pemberian stimulus kepada sejumlah kementerian/lembaga terkait tugas dan kewenangannya. Stimulus tersebut di antaranya pemanfaatan program Sistem Resi Gudang, pembelian produk perikanan oleh BUMN.

Sayang, deretan komoditas ekspor terbesar seperti Crude Palm Oil (CPO) dan batu bara kompak mengalami penurunan (tirto.id). BPS mencatat Mei 2020 ekspor golongan minyak nabati dan bahan bakar mineral masing-masing turun 199,7 miliar dolar AS dan 225 miliar dolar AS mtom. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendongkrak ekspor, tapi angka masih dengan tren penurunan.

mm

Nilai ekspor Indonesia tercatat sebesar US$ 13,7 miliar pada Juli 2020, meningkat 14,3% dari bulan sebelumnya. Meski begitu, nilainya masih lebih rendah hampir 10% dibandingkan Juli 2019, yang mencapai US$ 15,2 miliar. Sementara itu, nilai impor justru mengalami penurunan, yakni dari US$ 10,8 miliar pada Juni 2020 menjadi US$ 10,5 miliar pada Juli 2020. Nilai tersebut juga menurun hingga 32,6% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. (katadata.co.id).

Peneliti Indef Abdul Manap, menegaskan perlunya pemerintah mengantisipasi tren ekspor-impor yang melemah, selain empat kebijakan di atas  pemerintah juga harus lebih menggencarkan negosiasi dagang untuk memitigasi masalah gugatan perdagangan seperti anti-dumping maupun subsidi demi memuluskan ekspor -impor Indonesia. Mengingat bahwa efeknya akan terasa seret di penerimaan devisa Indonesia sehingga sulit mengendalikan nilai tukar rupiah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *