Berangkat dari falsafah Santri, bahwa pesantren lahir dari masyarakat dan untuk masyarakat, Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalharjo-Magelang, berinisiatif ikut mengurangi antrean Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mengajarkan santri untuk menjadi santri Entrepreneur. Ujar Yusuf Chudlori-pengasuh santri entrepreneur (Jum’at, 20/02/2016)
Meski ketika santri mondok tidak diajari pelajaran tentang mandiri ekonomi, Yusuf menekankan para santri untuk mandiri dalam berwirausaha setelah mereka lulus ngaji. Akronim dari API sendiri, memiliki indikasi santri kelak akan menjadi seorang pengajar atau guru. Mengajarkan agama kepada masyarakat, maupun menjadi guru di bidang wirausaha.
Ayah Gus Yusuf (Kyai Chudlori) sejak awal memang giat berwirausaha. Beberapa peninggalan masih dapat terbaca jelas, berupa tulisan arab yang terpahat di tembok pondok tentang semangat dalam mandiri ekonomi, seperti syair: “ kebaikan ekonomi adalah terdapat pada kebaikan agama. Demikian pula kebaikan agama adalah terdapat pada kebaikan ekonomi”.
Maka tak heran semangat untuk terus mandiri terpatri dalam hati para ahli waris dan santri. Kini API memiliki beberapa usaha yang hasilnya dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan 7000 santri. Para santri sejak dini diajarkan mandiri, bahkan mereka tidak perlu ijazah untuk melamar pekerjaan karena mau tidak mau menjadi santri API harus mandiri.
Santri Entrepreneur
Terlepas dari stigma masyarakat, Santri hanya dapat menjadi pengajar agama dan membacakan doa, Gus Yusuf membentuk pelatihan Santri Entrepreneur untuk para santri setelah mereka selesai mondok. Tujuannya untuk membentuk mereka menjadi santri mandiri dalam ekonomi, agar saat santri mengajar ia tidak terganggu masalah keuangan dan memilki banyak waktu luang dengan pekerjaan yang mereka ciptakan sendiri.
Materi kewirausahaan sengaja baru diberikan selesai mondok, agar santri dapat fokus meniti usahanya tanpa terganggu pelajaran pondok saat pelatihan sampai memulai bisnis.
Selama 35 hari, santri dikarantina dalam pelatihan santri entrepreneur tersebut. Bersama beberapa mentor ahli mereka diberi motivasi, pengetahuan berbisnis serta praktik.
Pada pelatihan di Hari pertama, semua barang bawaan peserta dilucuti, mulai dari; dompet, Hp, kendaraan dan assesoris milik semua peserta. Mereka semua dalam keadaan yang sama, tidak memiliki barang yang dinamakan harta.
Di pagi hari, Tugas pertama mencari uang di pasar dan harus pulang tepat pukul 15.00. Hanya uang senilai Rp. 2.500 yang diberikan kepada mereka, meski uang tersebut akan habis dipakai naik bus ke lokasi pasar. Mereka harus mampu megerjakan apapun untuk mendapatkan uang di pasar. Hasilnya untuk saku pulang dan mengumpulkan modal, karena hanya uang tersebut yang menjadi modal mereka, tidak ada uang lagi untuk 34 hari ke-depan.
Setiap mereka kembali dari pasar uang harus dikumpulkan dalam satu kelompok yang sudah dibentuksebelumnya. Uang tersebut akan dijadikan modal untuk menjadi modal awal bisnis. Bagi kelompok yang gagal mendapat uang terpaksa harus menikmati nasi tanpa lauk sebagai hukumannya. Dihari selanjutnya, mereka terus berjuang agar dapat nasi lengkap dengan lauk, yang memberi perbedaan rasa dibanding nasi putih dalam nampan.
“Mereka berjuang mati-matia untuk uang itu, menggunakan kreatifitas dan kerja keras. Salah satu kisah paling fenomenal dari sekian peserta, saat salah satu peserta bekerjasama dengan pedagang bakso yang saat itu hanya bisa berjualan di luar pasar. Peserta tadi meminjam mangkuk dan sendok penjual bakso untuk menjualkan bakso di dalam pasar, ia mengetuk-ketuk mangkuk sambil menawari bakso kepada orang-orang di dalam pasar. Setiap ketukan mangkuknya diberi upah Rp.500 oleh pedagang bakso. Memang saat itu penjual bakso mengalami banyak peningkatan penjualan semenjak peserta tadi membantunya. Ini menunjukan bahwa pengusaha membutuhkan kemauan bukan sekedar uang sebagai modal” Ujar Wahyu kartiko sebagai salah satu panitia saat diwawancarai tim Lpminvest
Kegiatan demi kegiatan berjalan, Sampai pada bagian pelatihan pembukuan keuangan dan fokus pada bisnis masing-masing, hingga pendampingan sebagai tahap terakhir. Beberapa alumni santri entrepreneur berhasil menggeluti bisnis mereka. Bahkan salah satu dari mereka mampu membuka cabang di salah satu mall di Magelang.
Meski rata-rata alumni santri entrepreneur hanya mampu berusaha dalam usaha mikro, namun penghasilan mereka mampu menyamai para PNS. Nasruddin contohnya, bos sate buah itu mampu mendapatkan Rp. 125.000/harinya. Dan masih banyak lagi para alumnus yang berhasil menggeluti bisnis-bisnis mereka.
Kata Hermawan Kartajaya saat bertamu di rumah Gus Yusuf, “Nabi anda adalah seorang wirausaha handal, kenapa justru nabi saya yang tukang kayu yang menguasai perniagaan, kalau pengikut Muhammad tidak handal dalam wirausaha itu sangat ironis.” Begitulah katanya.
Kehadiran Hermawan waktu itu menyulut semangat Gus Yusuf untuk kampanye santri entrepreneur. Hingga 6 angkatan telah berjalan pelatihan santri entrepreneur, pihak API tetap memberikan pendampingan kepada mereka. Kata Gus Yusuf santri mampu mandiri, tidak menambah beban pemerintah dengan mengantre dijadikan PNS. Santri mampu karena santri memang terdidik untuk mandiri sejak awal, dan santri merupakan SDM yang lengkap untuk menjadi wirausaha, dengan ketekunan, istiqomah, ketertiban (saat Jama’ah), pekerja keras dan yang paling penting, santri memilki “doa” yang tidak dimilki pengusaha lain. “mereka belum tau saja, kalau surat al-Fatikhah bisa bikin dagangan laris. Pungkas Gus Yusuf Chudlori, bangga dengan santri. (cokro_Invest).