Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » ARTIKEL » Mahasiswa Rantau, Antara Mandiri dan Dipaksa Keadaan

Mahasiswa Rantau, Antara Mandiri dan Dipaksa Keadaan

  • account_circle admin1
  • calendar_month Rab, 5 Des 2018
  • visibility 83
  • comment 0 komentar
Oleh: Hasna Aulia Pembelajar yang tak kunjung pintar

Oleh: Hasna Aulia
Pembelajar yang tak kunjung pintar

Entah mengapa kalau mendengar kata ‘rantau’ pikiran saya langsung tertuju pada ‘rindu’. Waktu kecil, yang saya pahami tentang merantau adalah para pekerja yang meninggalkan anak istrinya di desa untuk bekerja ke luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Ya sama persis yang dilakukan ayah saya dulu, dia pergi ke Jakarta meninggalkan kami yang ratusan mil jaraknya untuk mencari uang. Wajar kalau mendengar kata rantau yang saya ingat adalah rindu, karena dulu kami sering menunggu kepulangan ayah dan memendam rindu berminggu-minggu.

Namun setelah ribuan jam duduk di bangku sekolah, agaknya saya paham bahwa merantau bukan hanya istilah bagi para pekerja. Ternyata asal usul kata ‘merantau’ berasal dari bahasa dan budaya Minangkabau yaitu ‘rantau’. Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar tentang filosofinya. Intinya sejak berabad-abad tahun lalu, orang-orang Minang memang memiliki tradisi mengembara yang kuat. Bahkan seorang laki-laki saat menginjak dewasa (20-30 tahun), sudah didorong untuk keluar dari daerah asalnya. Dari situlah dikenal istilah ‘marantau’ atau yang sekarang kita sebut dengan merantau.

Sebenarnya yang saya pengin bahas di sini adalah sense of merantaunya mahasiswa. Sependek pengetahuan saya, kebanyakan mahasiswa di pulau Jawa adalah perantau. Baik perantau antarkota, antarpulau, maupun antarnegara. Kalau dinalar, mungkin karena banyaknya universitas ternama bahkan terbaik se-Indonesia, infrastruktur lebih maju, ingin merasakan sensasi hidup jauh dari kampung halaman atau bahkan ‘terpaksa’ menjadi faktor orang-orang memilih Jawa sebagai tujuan perantauan.

Kalau boleh saya kategorikan, ada beberapa tipe mahasiswa perantau. Pertama, perantau-perantauan. Maksudnya, mereka merantau tapi sering pulang. Sebab jarak rumah dan rantau yang terlampau dekat mendorong mereka untuk pulang setiap minggu. Bahkan bisa jadi waktu yang mereka habiskan di rumah lebih banyak daripada di kos atau kontrakan, tentunya kalau jadwal kuliah bersahabat. Tipe ini yang kadang bikin saya iri, rantau rasa rumah. huh!

Kedua, perantau kelas menengah. Maksudnya, jarak rumah dengan rantau lumayan jauh, tarif yang dibutuhkan untuk pulang-pergi pun lumayan menguras kocek. Tentunya mahasiswa yang menjunjung tinggi sikap hemat perlu pikir dua kali untuk pulang. Biasanya, tipe ini pulang kampung paling tidak sebulan atau dua bulan sekali, bahkan kalau tidak ada acara-acara yang penting di rumah, mereka memilih berdiam diri di kos dan mengelus-elus dompet.

Ketiga, perantau kelas baja. Maksudnya, mereka pulang kampung biasanya sesemester sekali, setahun sekali, bahkan ­-berdasarkan curhatan seorang teman- ada yang boleh pulang hanya kalau sudah lulus. whatThe! Tipe ini memang yang paling ekstrim. Sebab jarak rumah dengan rantau yang beribu mil jauhnya membuat mereka pantang untuk pulang. Bisa dibayangkan, perantau tipe kedua saja perlu pikir dua kali untuk pulang. Tipe ini, mungkin perlu pikir dua kali dua ratus kali untuk memutuskan pulang. Maka pantas jika mental baja kita predikatkan untuk perantau tipe ketiga ini. cool!

Terlepas dari tipe-tipe yang saya sebutkan tadi, ada hal-hal yang saya pandang menarik dari mahasiswa rantau. Misalnya, dari sisi bagaimana cara mereka bertahan hidup. Mahasiswa rantau biasanya pandai mengelola uang. Mereka akan berpikir bagaimana jatah bulanan dari orang tua bisa cukup untuk keperluan kuliah, makan, mandi, dan make up (bagi yang memakai).

Selain itu, mahasiswa rantau juga biasanya gemar berburu beasiswa. Berbekal motivasi hidup layak di tanah rantau, mereka akan bertarung sekuat tenaga dan mengandalkan mental baja mereka untuk mengejar beasiswa.

Belum selesai. Kalau sudah berhemat tapi biaya hidup tetap meningkat, daftar beasiswa eh belum rejekinya, mereka tak tinggal diam. Tanpa mengganggu kegiatan perkuliahan, mahasiswa rantau biasanya memanfaatkan waktu luang untuk bekerja. Mulai dari kerja part-time di restoran, ngajar les privat, jaga angkringan, jadi kasir bahkan jual es cendol di pinggir jalan mereka lakoni demi mengurangi beban orang tua.

Bukan hanya pandai mengelola uang, mahasiswa rantau juga dituntut pandai mengelola waktu. Biasanya di rumah ada ibu dan bapak yang selalu mengingatkan makan, sholat, dan belajar. Di tanah rantau, mereka harus mengandalkan alarm hp untuk menggantikan peran ibu dan bapak (kecuali yang gak jomblo), pun fungsinya tidak sehebat ketika ibu membangunkan tidur nyenyak mereka di rumah.

Hebatnya lagi, mahasiswa rantau juga pandai mengelola perasaan. Bagaimana tidak, seminggu, sebulan, setahun mereka menahan rindu keluarga dan kampung halaman. Mereka tetap ceria menjalani hari-hari walau mungkin hati sedang bimbang. Telepon, whatssapp, video call, mungkin bisa sedikit meredam rindu. Tapi adakah obat rindu yang lebih mujarab dari bertemu? nothing! Maka dari itu mereka biasanya menyibukkan diri di organisasi kampus atau melakukan kegiatan sosial untuk menjauhkan diri dari baper yang berkelanjutan.

Tapi siapa sangka hal-hal tersebut yang justru menjadi pelajaran berharga. Di saat yang lain makan dengan puas di rumah, mahasiswa rantau sedang mencuci, menyapu, mengepel dan buru-buru mengangkat jemuran agar tak kena hujan. Di saat yang lain tidur nyenyak di kasur nyaman, mahasiswa rantau sedang sibuk-sibuknya berorganisasi dan membangun jaringan demi kebaikannya di masa depan. Di saat yang lain asyik bercengkrama dengan keluarga, mahasiswa rantau sedang memutar otak bagaimana caranya bertahan hidup tanpa membebankan orang tua. Itulah pelajaran hidup yang sesungguhnya.

Omong kosong. Tentu saja yang saya ceritakan tidak sepenuhnya benar. Tidak semua mahasiswa rantau sehebat itu. Tapi memang ada manusia-manusia strong seperti cerita di atas yang saya temui dan patut untuk kita teladani. Minimal kita bisa meneladani semangatnya untuk bertahan menjadi pembelajar di kota orang. Jadi mahasiswa rantau kok malas-malasan, lemah!

  • Penulis: admin1

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

Rekomendasi Untuk Anda

  • Tanah Air Beta Terampas Kapitalis

    Tanah Air Beta Terampas Kapitalis

    • calendar_month Kam, 7 Des 2017
    • account_circle admin1
    • visibility 54
    • 0Komentar

    Oleh: Akhyar Manarul HF Ungkapan Indonesia Tanah Air Beta tentu sudah tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia. Negara dengan kekayaan yang sangat melimpah menjadi surga dunia bagi rakyatnya. Namun kini Indonesia Tanah Air Kapitalis seolah lebih tepat diungkapkan. Rakyat tergusur oleh kepentingan asing dan para pemilik modal yang hendak menguasai kekayaan Indonesia. Mirisnya, hal tersebut […]

  • The Psychology of Money

    The Psychology of Money

    • calendar_month Ming, 2 Mar 2025
    • account_circle admin1
    • visibility 71
    • 0Komentar

    Judul             : The Psychology of Money Penulis          : Morgan Housel Penerbit          : BACA Tahun Terbit  : 2021 Tebal              : 238 Halaman ISBN            : 078-602-6486-57-8 Penerjemah   : Zia Anshor Peresensi         : Muhammad Fatih Ditulis oleh Morgan Housel, seorang penulis dan investor, buku ini tidak hanya fokus pada angka atau rumus finansial, tetapi lebih pada perilaku […]

  • Babak I, 69 Esai Siap Rebutkan 10 Kursi Esai Terbaik

    Babak I, 69 Esai Siap Rebutkan 10 Kursi Esai Terbaik

    • calendar_month Rab, 24 Apr 2019
    • account_circle admin1
    • visibility 52
    • 0Komentar

    lpminvest.com– Pendaftaran National Essay Competition (NEC) 2019 oleh Lembaga Pers Mahasiswa Invest Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Walisongo Semarang resmi ditutup pada Sabtu (20/4/2019) lalu. Terhitung, sebanyak 69 peserta yang berasal dari 38 universitas di Indonesia kini telah memasuki seleksi tahap I, yaitu seleksi berkas dan administrasi guna memperebutkan kursi 10 finalis esai terbaik. 10 […]

  • Sempat Cuti Kuliah, Kru Invest Jadi Wisudawati Terbaik

    Sempat Cuti Kuliah, Kru Invest Jadi Wisudawati Terbaik

    • calendar_month Rab, 7 Mar 2018
    • account_circle admin1
    • visibility 45
    • 0Komentar

    lpminvest.com- Salah satu kru Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Invest, Siti Rohmawati menjadi wisudawati terbaik dengan mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,83. Rabu, (7/03/2018). Rahma, sapaan akrabnya merupakan mahasiswi jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) yang sempat cuti kuliah selama satu tahun karena patah tulang akibat kecelakaan yang pernah dialaminya di daerah Demak-Kudus, […]

  • Langkah Tak Berhenti

    Langkah Tak Berhenti

    • calendar_month Kam, 24 Apr 2025
    • account_circle admin1
    • visibility 37
    • 0Komentar

    Oleh : Miftakhu Rozaq Di bawah langit yang kelabu, Kujalani jalan penuh liku, Dengan mimpi yang kugenggam erat, Meski angin kerap membawa penat. Langkah kecil kutapaki perlahan, Di atas tanah keras penuh harapan, Beban di pundak bukanlah halangan, Hati ini penuh tekad dan impian. Mentari mungkin tak selalu bersinar, Namun kuyakini cahaya akan hadir, Di […]

  • Putus Sebaran Covid 19; Kelompok 6 KKN RdR 77 UIN Walisongo Adakan Pembuatan dan Penyemprotan Desinfektan di Desa Sidorejo

    Putus Sebaran Covid 19; Kelompok 6 KKN RdR 77 UIN Walisongo Adakan Pembuatan dan Penyemprotan Desinfektan di Desa Sidorejo

    • calendar_month Rab, 10 Nov 2021
    • account_circle admin1
    • visibility 54
    • 0Komentar

    lpminvest.com- Putus sebaran Covid-19, Kelompok 6 Kuliah Kerja Nyata Reguler dari Rumah (KKN RdR) 77 UIN Walisongo Semarang adakan pembuatan dan penyemprotan desinfektan di Dukuh Putatsari, Desa Sidorejo, Kabupaten Demak. Rabu, (10/11/2021), kegiatan tersebut mendapat respon positif dari pihak Pemerintah Desa. Warnoto Utomo selaku Kepala Desa menyambut hangat dan memberikan dukungan positif untuk terselenggarannya kegiatan […]

expand_less