Kelas Menengah dan Ketimpangan Ekonomi 

Muhamad Chatib Basri memulai opininya dengan mengamati gelombang protes yang melanda berbagai negara pada tahun 2019, dari Hong Kong hingga Lebanon. Meskipun pemicu spesifiknya beragam, ia menegaskan bahwa semua kejadian tersebut berakar pada masalah yang sama: ketimpangan ekonomi yang kian parah. Ia menyoroti penelitian Lakner dan Milanovic yang menunjukkan pola distribusi pendapatan dunia menyerupai “belalai gajah”. Ini berarti kelas menengah di Asia, seperti Tiongkok dan ASEAN, mengalami kenaikan drastis, sementara di Eropa dan Amerika justru stagnan atau menurun.

Ironisnya, di saat yang sama, pendapatan kelompok super kaya (1% teratas) melonjak tajam, memicu kemarahan kelas menengah di negara maju yang merasa tertinggal. Keresahan ini diperparah oleh kesadaran generasi muda di sana bahwa kesempatan mereka untuk hidup mapan tak akan sebaik orang tua, meskipun berpendidikan tinggi, karena sulitnya mencari pekerjaan layak. Berbeda dengan Asia, yang diuntungkan oleh perdagangan global dan industrialisasi, berhasil menciptakan kelas menengah baru, termasuk di Indonesia.

Untuk Indonesia sendiri, ada kabar baik dan buruk. Kabar baiknya, kelas menengah kita tumbuh pesat, sekitar 10% per tahun dari 2002 hingga 2016. Pertumbuhan ini menyebabkan pergeseran konsumsi dari kebutuhan pokok ke gaya hidup, ditandai peningkatan pesat pada pembelian mobil, ponsel, serta pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Namun, di balik ini tersimpan masalah serius: kelas menengah Indonesia sangatlah rapuh.

Data menunjukkan bahwa dari mereka yang masuk kelas menengah pada tahun 2000, hanya sekitar 50% yang mampu bertahan hingga 2014. Sisanya, 40% kembali menjadi “calon kelas menengah”, dan 10% bahkan terperosok kembali ke dalam kemiskinan. Ini menyoroti betapa rentannya kelompok ini terhadap guncangan ekonomi. Masalah lain adalah peningkatan pengangguran terdidik; meski ekonomi tumbuh, jumlah pengangguran di kalangan lulusan SMA ke atas justru meningkat.

Situasi ini berpotensi menimbulkan dampak politik berbahaya, karena kelas menengah, yang dikenal kritis terhadap pelayanan publik, dapat dengan mudah mengubah keresahan ekonomi menjadi masalah politik jika pemerintah tidak responsif. Untuk mengatasinya, Pak Basri mengusulkan beberapa solusi. Pertama, pemerintah perlu merancang program khusus untuk kelas menengah, tidak hanya fokus pada kelompok miskin. Kedua, program pelatihan kerja seperti Kartu Prakerja penting untuk meningkatkan keterampilan.

Ketiga, yang terpenting bukan sekadar menciptakan lapangan kerja, melainkan pekerjaan yang layak dengan upah yang baik. Keempat, pemerintah harus serius berbenah untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Ia menutup opininya dengan kutipan Antonio Gramsci: “Pesimis karena kecerdasan, optimis karena kemauan.” Ini berarti, meski tantangan berat, dengan kemauan politik yang kuat, masalah ketimpangan ini bisa dia.

Note : Karya Opini oleh Muhammad Chatib Basri

[ Pengurus Invest Website Periode 24/25 ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *