Minggu, (17/09/2023) Doah (53). Kala itu tengah rebahan sembari menonton televisi 16 inch di rumah kayunya di Dusun Timbulsloko, Sayung, Demak. Matanya tak bisa lepas dari drama di televisi tersebut yang menampilkan kemewahan sebuah kota. Hal itu kontras dengan kampungnya di Timbulsloko yang kini terancam tenggelam. Deburan ombak kecil ikut menemani Doah dalam fokusnya terdengar lirih di bawah rumah kayunya.
“Tadinya di sini ada sawahnya, Mas, Mbak. Namun sekarang sawah itu sudah hilang seiring dengan naiknya air laut.” ungkapnya.
Dusun Timbulsloko sudah berubah drastis, tanahnya sudah tenggelam, jalan aspal diganti dengan jalan kayu. Kini di dusun itu masih ada 147 Kartu Keluarga (KK) yang masih bertahan, salah satunya Doah Perempuan renta sebatang kara.
“Suami meninggal sebelum anak saya yang terakhir menikah. Sekarang anak saya sudah menikah semua, Mbak, Mas,” ungkapnya dengan tatapan sendu.
Di usianya yang menginjak kepala lima ini menjadi kendala bagi dirinya untuk mencari pekerjaan. Ia bertahan hidup di dusun yang tergenang rob itu dengan bantuan dari anak-anaknya.
“Dikasih (uang) perminggu Mbak, Mas, alhamdulillah masih pada inget saya,” jawabnya.
Uluran tangan sang anak yang berupa uang membuat Doah merasa tercukupi untuk segala keperluan yang dibutuhkan Doah saat ini. Seperti bayar listrik, bayar air, dan biaya makan. Walaupun tak seberapa, Doah selalu bersyukur akan hal itu.
“Untuk makan apa adanya, bahkan bayar air, bayar listrik dan biaya makan itu sudah dari anak saya Mas, Mbak. Kadang 100 ribu kadang 50 ribu untuk bayar listrik maupun air,” ungkap Doah penuh syukur.
Terjadinya bencana rob membuat beberapa tetangga di seberang rumah Doah memilih pindah ke daerah lain karena tidak lagi nyaman dengan keadaan Dusun Timbulsloko saat ini.
“Mereka yang pindah itu, karena punya uang dan mampu untuk pindah,” ucap Doah.
Masyarakat Timbulsloko sudah pernah ditawari untuk dibuatkan rumah apung oleh pemerintah, tetapi karena keterbatasan finansial membuat Doah terkendala untuk mewujudkan hal itu.
“Kemarin itu sudah ditawarin (pemerintah), dibuatin rumah apung, tetapi biayanya bayar 30 juta. Tidak bisa, aku angkat tangan,” jelas Doah dengan wajah pasrah.
Selain menyasar pada kehidupan orang tua, dampak rob juga menyerang anak-anak di Timbulsloko hingga menyebabkan kegelisahan. Mereka mengaku cemas mengenai bencana rob yang selalu menghantuinya ketika akan tidur malam.
“Saya cemas dan was-was misal kejadian rob datang lagi terutama ketika tidur,” ungkap Tyo.
Kejadian rob membuat Tyo (11) takut, sebab datangnya rob seringkali menghanyutkan dirinya serta barang berharga miliknya, termasuk keperluan untuk sekolah seperti sepatu, seragam, tas dan buku.
“Saya takut tenggelam,” bebernya.
Teman sepermainan Tyo, Huda (12) juga mengungkapkan kejadian banjir rob membuatnya kewalahan, apalagi ketika air masuk ke dalam rumah secara mendadak. Bencana itu sering membuat ia kehilangan barang pribadinya seperti baju sekolah, hingga tas sekolah.
“Waktu banjir rob besar, barang-barang itu hanyut semua karena datangnya mendadak jadi belum siap-siap,” tuturnya.
Huda dan teman-temannya tak bisa sebebas anak-anak lain yang bermukim di kota maupun daerah yang jauh dari ancaman rob. Ia dan temannya seringkali menemui kesulitan dalam bermain kelereng, sepeda, dan bola karena daratan kampungnya yang sudah menjadi laut.
“Tempat saya bermain dan teman-teman berada di depan masjid itupun tidak luas. Di sana kurang enak buat bermain. Terlalu sempit,” ungkap Huda.
Kegelisahan serupa juga menimpa Adinda Millatul Azka (15). Seorang Siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kecamatan Sayung itu kerap merasakan gangguan suara ombak yang besar dan angin kencang, ia merasa bahwa tidurnya sering tak nyenyak karena gangguan itu.
“Suara itu sering bikin bangun tengah malam,” katanya.
Adinda gelisah karena bencana ini membuat ia terpaksa berbaur dengan keadaan Timbulsloko saat ini, mengingat dulu kampungnya adalah kampung yang asri yang kaya akan hasil perkebunan dan pertanian.
Krisis Iklim Merenggut Ruang Hidup Masyarakat Timbulsloko
Di lain sisi, menurut Pakar Lingkungan dan Tata Kota Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmilah, menjelaskan bahwa kawasan pemukiman yang terendam rob memang lebih mudah menyebabkan banyak permasalahan bagi anak-anak Timbulsloko, baik dari segi pendidikan yang terhambat akses jalan, maupun tempat bermain yang tak seluas dulu.
Ia mengaku bahwa banjir rob imbas dari perubahan iklim berpengaruh pada banyak hal, bukan hanya ke persoalan kesehatan saja, tetapi juga aspek sosial budaya masyarakat. Salah satunya pergeseran mata pencaharian warga, dari nelayan ke buruh pabrik atau pekerjaan lain.
“Hal itu bisa dilihat di pesisir Jawa Tengah (Jateng), tipikal hampir sama. Paling parah ya pesisir Demak bisa dilihat di Timbulsloko, begitupun di Kota Semarang di Tambak Lorok dan Tambak Rejo,” terangnya.
Penduduk Timbulsloko yang awalnya bekerja sebagai petani tambak beralih mata pencaharian ke buruh pabrik karena tambak tidak bisa dikelola dan tak dapat bertahan lama karena abrasi yang terus menerus.
“Tidak bisa Mbak, karena jika mereka membuat tambak, tambaknya akan rusak. Mungkin hanya bisa bertahan 2 bulan atau bahkan paling lama cuma bisa bertahan 6 bulan,” katanya.
Harga perahu yang mahal juga menjadi salah satu kendala bagi warga Timbulsloko untuk menjadi seorang nelayan.
“Jadi nelayan juga nggak bisa Mbak, karena harga perahu yang kecil aja harganya 30 juta. Sedangkan jika nelayan kan berhari-hari di laut, dan tidak mungkin menggunakan perahu yang kecil,” tambah Mila.
Sedangkan kepedulian pemerintah terhadap daerah pesisir Pantura dianggap masih rendah, dikarenakan kawasan tersebut saat ini masih rentan akan bencana yang ada.
“Pemerintah belum ada solusi apa-apa, pemerintah terakhir ngasih solusi itu dengan relokasi,” ungkapnya.
Melihat kondisi itu, ia mendorong pemerintah untuk melakukan penekanan pada pembangunan infrastruktur besar di kawasan pesisir.
Selanjutnya melakukan proteksi kawasan pesisir sebagai upaya agar tidak terjadi abrasi dan rob.
“Langkah awal dengan tanggul, tapi jangan hanya pembangunan fisik melainkan dibarengi dengan konservasi lingkungan seperti penanaman mangrove,” ujarnya.
Timbulsloko Terancam Tenggelam, Salah Siapa?
Penulis melakukan riset dalam beberapa waktu untuk mengetahui penyebab daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa rawan tenggelam terutama yang terjadi pada dukuh Timbulsloko. Ada beberapa hal yang membuat penulis sedikit tercengang, penulis menemukan beberapa indikasi penyebab rob yang juga dilakukan oleh warga setempat.
Timbulsloko mulai tergenang rob pada tahun 1995 yang mulai merendam lahan pertanian dan perkebunan warga. Selanjutnya, abrasi yang terjadi di Timbulsloko pada tahun 2003 dinilai paling parah di Kecamatan Sayung. Setelah itu, tahun-tahun berikutnya abrasi menerjang kawasan Timbulsloko semakin memperparah keadaan dusun berupa hilangnya tanah dari Timbulsloko dan digantikan dengan jalan kayu.
Banjir rob dan abrasi yang terjadi di Dusun Timbulsloko juga tak terlepas dari perilaku warga Timbulsloko sendiri. Mengambil kisah dari buku yang berjudul “Urip Dioyak-oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung” yang ditulis Mila Karmilah, Dkk. Bahwa perilaku penebangan pohon mangrove yang terletak di daerah pesisir Timbulsloko oleh para warga setempat, tanpa disadari dapat berdampak buruk bagi lingkungan tempat tinggalnya. Seharusnya, pohon mangrove yang berfungsi sebagai pelindung daratan dari terjangan ombak laut malah ditebang habis untuk kebutuhan sementara.
Bukan tanpa alasan, para warga menebang pohon mangrove di tempatnya karena mereka membutuhkan kayu bakar untuk kebutuhan hidup. Dahulu, warga mengandalkan limbah kayu pabrik yang hanyut di daerah pesisir Timbulsloko untuk membuat kayu bakar di pemukiman. Awalnya, warga Timbulsloko memeroleh kayu dari limbah pabrik. Akan tetapi, pabrik kayu itu sudah bisa mengolah kembali limbah-limbah kayunya, sehingga warga memenuhi kebutuhan kayu bakar dengan beralih ke penebangan kayu mangrove sekitar Desa Timbulsloko. Hal ini berdampak pada keadaan Timbulsloko sekarang, pohon mangrove di Dusun Timbulsloko terbilang habis, sehingga air laut leluasa masuk dan membanjiri sawah, tambak, serta pemukiman warga.
Dampak krisis iklim berakibat pada wilayah Timbulsloko yang semakin tenggelam karena adanya peningkatan permukaan air laut. Mengutip dari Journal of Geodesy and Geomatics yang ditulis oleh Eko Yuli Handoko, Dkk. Laju peningkatan permukaan muka air laut terjadi setiap tahun dengan tinggi permukaan bertambah 4,5 milimeter (mm).
Bukan hanya krisis iklim yang menjadi faktor penyebab tingginya banjir rob Timbulsloko, tetapi pengerukan air tanah serta aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah juga menyebabkan Timbulsloko semakin tenggelam. Dua proyek strategis berupa pengerukan pelabuhan Tanjung Emas Semarang dan rencana pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) yang dilakukan pemerintah membuat arus air berubah.
Semestinya, arus air yang awalnya bisa mengalir ke berbagai penjuru laut, pada akhirnya mengalami perubahan arus dan membuat air tumpah ke daerah permukiman pesisir, termasuk Dusun Timbulsloko. Ditambah dengan adanya pengikisan di kawasan pesisir akibat dari pembangunan pelabuhan Tanjung Emas. (Abil, Celine, Kasyif & Thoriq_[i])