Kaulah Tempatku Pulang

(Sumber: pixabay.com)
(Sumber: pixabay.com)

Oleh: Malika Rahma Arifina

Kemarin sore, sehari setelah acara kelulusanku selesai, tiba-tiba dia muncul di hadapanku tanpa tahu malu.

Lima tahun berpisah, nyaris tidak pernah bertukar kabar, lalu dia tiba-tiba datang dengan membawa sejuta kenangan. Aku masih ingat betul pertemuan terakhir kami yang terasa biasa saja. Dia pergi ke suatu negara orang untuk menuntut ilmu, aku mengantarnya ke bandara dan kami hanya saling memandang lalu ia pergi begitu saja. Tidak ada tangisan, tidak ada kebahagiaan, hanya ada harapan semoga ia bisa hidup tenang di negara orang.

Ia tidak seperti diriku yang suka memikirkan segala sesuatu, ia tipe orang yang lebih suka bertindak. Mimpinya tidak pernah ia beritahukan pada orang lain, tetapi ia selalu berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Dan hari itu, ia meninggalkanku di kota kecil ini untuk menuntut ilmu.

Segelas susu hangat dan rintik hujan menjadi temanku saat ia datang kemarin. Aku sedang menonton film roman di laptop sambil menikmati susu yang kupilih untuk menghangatkan badan saat hujan mengguyur bumi. Ketika sedang menangis karena si pemeran utama harus kehilangan nyawanya karena sebuah penyakit, suara ketukan dari pintu depan membuatku mengernyit.

Sebal, karena konsentrasi dan moodku langsung buyar akibat suara ketukan pintu yang sangat mengganggu itu. Aku keluar dari kamar sambil menghentakkan kaki, dan saat ku buka pintu rumah dengan wajah cemberut, paras tampan yang sudah lama tidak kulihat secara langsung ada di hadapanku dengan sangat nyata.

“Arya?” kataku tidak percaya saat ia menampilkan senyum tipisnya yang menawan.

“Hai,” sapanya.

Ekspresi sebalku berangsur-angsur menghilang dan digantikan rasa keterkejutan yang menerpa seluruh sel dalam tubuhku.

Ini pasti mimpi. Ya, aku yakin ini pasti mimpi.

Bagaimana bisa laki-laki yang dulu kukagumi tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan.

Aku benar-benar seperti membeku saat melihat parasnya yang semakin tampan. Garis wajahnya terlihat lebih tegas. Kulitnya yang dulu bewarna coklat, kini lebih putih.

“Kamu tidak menyuruhku untuk masuk?” tanyanya membuyarkan keterkejutanku.

Aku hanya bisa mengedipkan mataku dan mencoba mengatur detak jantungku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.

Oke, biar aku jelaskan secara singkat. Laki-laki yang berdiri di hadapanku ini adalah orang yang kusukai sejak zaman SMA. Dia kakak kelasku sekaligus cinta pertamaku. Tetapi ia tidak pernah menganggapku ada. Ia mengetahui dan sadar akan perasaanku padanya yang begitu menggebu-gebu, namun ia memilih untuk membiarkan perasaanku seperti angin berlalu.

Interaksi kami selama dua tahun terhitung sejak aku masuk ke Sekolah Menengah Atas hingga dia lulus pun terasa begitu singkat. Dia anak IPA sedangkan aku anak IPS dan kami berpisah saat ia lulus SMA. Lalu, kami berpisah lebih jauh lagi karena ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas ternama yang bukan berada di Indonesia. Menyedihkan sekali kisah cinta pertamaku yang tidak terbalaskan ini.

“Ca?” panggilnya lagi.

Suara yang berat membuatku terpaku sekali lagi. Kemudian aku membuka pintu masuk rumah orang tuaku dengan lebar, lalu tersenyum tipis saat memandangnya tepat di bola matanya.

“Masuk,” kataku dengan suara serak karena agak gugup.

Ia tersenyum tipis lalu melepas sepatunya dan masuk ke dalam rumah orang tuaku.

Aku menutup sedikit pintunya agar angin yang berhembus dengan dingin tidak masuk. Saat membalikkan badan, aku melihat ia sudah duduk manis di sofa ruang tamu. Aku berjalan menuju single sofa lalu duduk di sana.

Apa yang harus aku katakan sekarang?

Aku harus membuka percakapan dari mana?

Menanyakan kabarnya? Bagaimana kuliahnya saat disana? Dia sudah bekerja? Atau apa?

Aku benar-benar tidak tahu harus memulai dari mana. Rasanya lidahku kelu hingga pikiranku berkecamuk ‘harus mulai dari mana, ya?

“Kamu tidak perlu terlalu banyak berpikir hendak mengatakan apa, Aca,” ungkapnya tiba-tiba.

Aku mendongakkan wajahku yang tadinya menunduk. Aku menatap ke arahnya yang saat ini sedang tersenyum manis kepadaku, maklum akan tindakanku yang sangatlah mudah untuk dibaca.

Em, kamu mau minum apa?” kataku pada akhirnya.

“Teh hangat saja.”

Pilihan yang mudah.

“Aku buatin dulu, ya.” Dengan cepat dan sedikit terburu-buru karena merasa gugup, aku segera berdiri dari sofa single itu lalu berjalan menuju dapur.

Oke, sembari membuatkannya teh hangat, mari kita berpikir kemungkinan-kemungkinan mengapa ia tiba-tiba datang ke rumahku setelah lima tahun tidak bertemu.

Pertama, ia merindukanku. Sebenarnya, yang ini sangatlah tidak mungkin, peluangnya adalah satu banding satu juta. Kedua, ia mengantarkan undangan pernikahannya. Setahuku dia sudah memiliki seorang kekasih. Aku mengetahui kabar itu dari temanku, mungkin saja ‘kan ia masih menjalani hubungan dengan pacarnya dan sekarang memutuskan untuk menikah muda.

Hah, aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Oleh sebab itu aku seperti orang gagal move on yang terus meracau akan kemungkinan-kemungkinan gila yang tidak akan pernah terjadi.

“AH!” Seruku saat merasakan sensasi panas yang hadir tiba-tiba di telapak tanganku.

Oh, ceroboh sekali kamu, Aca!

Bagaimana bisa aku menumpahkan air panas yang baru saja mendidih di atas kompor ke tanganku sendiri saat menuangkannya ke dalam gelas?

Dengan cepat aku meletakkan kembali panci itu lalu berlari kecil ke wastafel dapur. Aku membiarkan air mengalir di atas telapak tangan kananku yang saat ini terlihat memerah karena terkena air panas. Lagi-lagi aku bertindak begitu ceroboh.

“Aca?”

Suara berat milik Arya tiba-tiba muncul dari arah belakangku. Aku menolehkan kepala dan menatapnya dengan memasang ekspresi menahan sensasi perih akibat panas yang masih terasa.

“Kenapa?” tanyanya sambil berjalan ke arahku.

“Kena air panas,” cicitku pelan.

Ia menatapku dengan wajahnya yang berubah menjadi datar lalu berhenti di jarak setengah meter dariku. Ia memandang tanganku yang masih berada di bawah pancuran air dengan wajah yang sedikit prihatin.

“Kamu ada salep untuk meredakan luka bakar?” tanyanya padaku.

Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Ia terlihat berpikir sejenak lalu menghela napasnya berat. Ia berjalan mendekat ke arahku lalu mematikan keran air yang tadinya masih hidup. Dengan lembut, ia menarik tanganku ke depan wajahnya dan mengamati luka kemerahan yang ada di sana.

Ia mengusap tanganku dengan lembut, tidak ingin membiarkanku merasa kesakitan. Memperlakukan luka itu seakan jika ia mengusapnya dengan keras, tanganku bisa hancur di detik itu juga.

“Perih?” tanyanya sambil melirik tepat ke arah mataku.

Wajahku memanas melihat ekpresi itu. Dan bagaimana bisa aku merasa gerah saat di luar sedang hujan?

Aku menghela napasku berat, dadaku terasa sesak karena otakku penuh dengan spekulasi-spekulasi.

“Sedikit,” cicitku pelan.

“Salepnya ada di mana?” tanyanya masih dengan menggenggam tanganku.

“Ada di kotak obat, di ruang tamu.” Jawabku dengan tenang.

Ia menganggukkan kepalanya lalu menarik tanganku dengan lembut menuju ke ruang tamu. Ia mendudukkanku di sofa untuk dua orang. Ia berjalan ke arah kotak obat untuk mengambil salepnya lalu ia mengambil tempat di sebelahku. Dengan perlahan, ia menarik telapak tanganku yang terkena air panas dan meniup-niupnya.

Lagi-lagi, dengan lirikan matanya yang bisa membuat jantungku berdebar tak karuan, ia bertanya sambil menatapku dengan suaranya yang membuat hatiku bergetar.

“Perih?”

Aku tidak bisa menemukan cara untuk berbicara. Hatiku terasa hangat saat melihat tatapannya. Mataku memanas karena ingin menangis rasanya. Apakah ini hanya mimpi?

Orang yang kukagumi selama tujuh tahun ini tiba-tiba datang dan bersikap semanis ini?

“Perih ya pasti, sampai kamu mau nangis gitu? Sabar, ya.” Ia menatapku dengan prihatin lalu mengambil salepnya dan mengoleskannya pada luka bakarku.

Ia mengoleskan salep itu dengan lembut, tindakannya penuh dengan ketulusan dan cinta. Kenapa ia bisa semudah ini membuat hatiku berdebar? Kenapa saat aku merasa bisa untuk melupakannya, dia selalu hadir dan membuat perasaan ini hadir kembali tanpa diminta!

“Sudah.” Katanya sambil menaruh kembali salep ke dalam kotak obat.

Aku hanya bisa mengedipkan kelopak mataku mendengar jawabannya. Aku benar-benar selalu terlihat seperti orang bodoh jika berada di hadapannya.

“Makasih,” kataku saat dia kembali duduk di sampingku.

“Sama-sama, Aca.” Katanya sambil mengusap kepalaku.

Dasar Aca pemilik hati lemah jika sudah dihadapkan dengan lelaki menawan bernama Arya ini.

Aku menghela napasku dengan berat. Aku benar-benar tidak sanggup lagi jika terus-terusan seperti ini. Semakin lama Arya tidak mengatakan alasannya datang ke sini, semakin banyak spekulasi-spekulasi gila yang muncul di otakku tanpa ku minta.

Aku menarik napasku dengan panjang lalu memberanikan diri untuk menatap mata Arya dengan tatapan serius kali ini.

“Arya.” Kataku pada akhirnya.

“Iya?” jawabnya sambil menatap mataku pula.

“Kamu kok ke….,” aku menggigit bibirku dan memejamkan mataku.

Seakan mengerti akan apa yang ingin aku katakan, Arya tiba-tiba tersenyum lalu memanggil namaku dengan lembut.

“Aca.”

Aku mendongak menatapnya, dia juga sedang menatapku lekat dan tersenyum tulus kepadaku, sebelum akhirnya membuka mulutnya untuk mengucapkan.

“Aku sudah selesai mengelana, Ca. Aku ada di sini, karena aku tahu, bahwa pada akhirnya, kamulah tempatku pulang. Aku sudah selesai berpetualang di masa mudaku, Ca. Sekarang, biarkan aku pulang, ke dalam dekapanmu. Kamu bersedia ‘kan menyambut cinta pertamamu ini?”

Sial. Kalimatnya terdengar tulus, begitupun dengan tatapan matanya.

Aca terdiam mematung di tempat. Di detik berikutnya, Aca langsung berhambur ke dalam pelukan Arya. Menangis dalam dekapannya, lalu menganggukkan kepala sebagai jawabannya.

TAMAT-

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *