Bagaimana Kerikil Pagi Hari di Telapak Kaki

Oleh : Ahyar Manarul
th
Oleh : Ahyar Manarul Hidayah Fatah Sumber Gambar : google

Pagi yang terik, sinar matahari mencakar wajah dan membakar tubuhku yang semalam gigil meminta kehangatan Tuhan. Sial, aku kesiangan lagi. Ayam sudah berhenti berkokok dan anak-anak sekolah sudah sepi dari jalanan. Tidak, aku lupa. Sekolah sudah lama diliburkan karena situasi seperti ini. Lalu anakku? Dia masih tertidur pulas. Bukan karena sekolah libur, dia memang tidak pernah sekolah. Dia hanya tenang dalam kesederhanaan berpikir tentang hidup. Baginya, melewati hari cukup dengan membawa satu persoalan; bagaimana perut yang dibawa pagi tidak merasa lapar ketika berjumpa sore. Mana mungkin aku membelikannya kertas berlapis-lapis atau sebatang pensil yang tidak bisa dimakan. Anakku, dia hamba Tuhan yang dititipkan untuk menghibur kehidupanku yang begini-begini saja. “Tidak usah berpikir terlalu rumit nak, dijadikannya kamu anakku adalah untuk menyederhanakan kerumitan hidup yang tidak perlu.” Ucapku dalam hati.

Seperti mendengar aku membicarakannya dalam hati, ia perlahan-lahan membuka mata dan bergeliat menentang terik matahari. “Sudah siang pak?,” ia tiba-tiba bertanya sembari mengangkat badannya yang lekat dengan debu. Aku tersenyum menyambut putraku yang baru saja bertemu pagi. “Iya nak, segera bergegas mandi, kita akan berpetualang lagi hari ini. Bukankah kamu ingin menemukan pahlawan kesukaan kamu?.”

“iya pak, tentu saja. Aku ingin bertemu Batman.” Ucapnya semangat. Membalikan badan dan bergegas mandi.

***

Matahari sudah satu penggal tingginya, ku susuri sudut-sudut kota yang biru. Baru beberapa saja yang berhasil ku masukan ke dalam gerobak. Beberapa tumpuk kardus bekas, botol-botol bekas, dan dua buah kaleng Kong Guan. Anakku juga turut serta di dalamnya, setia menemaniku, menjaga pundi-pundi rupiah yang satu persatu ku kumpulkan. Selain karena bangun kesiangan, tentu saja hal lain yang mempengaruhi adalah wabah penyakit yang menghantui seluruh penjuru negeri. Jalanan sepi, sudut-sudut pemukiman hening; hanya beberapa saja yang berani keluar rumah, dan di pasar begitu jelas terlihat kerinduan penjual kepada pelanggannya. Aku pun, kesulitan menghimpun rosok dengan jumlah seperti biasa.

“Pak Karman.” Ada yang memanggil namaku. Ternyata Pak Budi, pemiliki warung makan yang biasanya aku mengambil botol-botol plastik bekas darinya.

“Hai Pak Budi, apa kabar, kenapa warungnya tutup?,” aku menyahut.

“Musim kaya gini, dimana-mana warung tutup Pak Karman. Tidak ada pelanggan yang datang. Lagian, semua orang sekarang sedang takut terkena penyakit itu,” ia menjelaskan.

“Kamu apa tidak takut?,” lanjutnya bertanya.

Sambil tersenyum kecil aku menjawab. “Aku juga manusia Pak, aku pun takut. Tapi aku juga takut kalau sampai anakku tidak bisa makan. Juga, apa yang mau diambil dari aku yang tidak punya apa-apa. Virus pun sepertinya malas, hahaha..” Aku menjawab dengan sedikit bercanda.

Aku jadi berpikir, memang tidak ada keuntungan menggangguku yang tidak memilki apa-apa ini. Apa yang mau diambil si virus itu. Sekotor-kotornya aku berpakaian, dia tidak akan tertarik untuk tinggal. Tidak ada untungnya.

“Bapak, hari ini kita ke Perumahan Dalem Indah lagi kan?,” tanya putraku.

Aku spontan menyahut “tentu saja Nak”. Ku sunggingkan sedikit senyum.

Memang untungnya sampai saat ini pemulung belum dilarang masuk. Anakku ingin kembali mengadu keberuntungannya di perumahan kalangan menengah itu. Wajar saja, kemarin ia bahagia tiada kira ketika kami berhasil mendapati Spiderman mainan di tong sampah di depan salah satu rumah. Hari ini ia berharap hal yang sama, menemukan sosok “pahlawan” baru untuk dibawa pulang. Untuk menemani Si Spiderman bermain bersamanya. Batman, ia berharap menemukannya nanti. Tentu aku tidak berani menjual barang plastik ini, biarlah menjadi hiburan untuk putraku.

***

Tibalah kami di perumahan yang dimaksud. Satu demi satu rumah dilewati. Tidak banyak yang bisa diambil. Sejauh kami berjalan, ku perhatikan semua pintu rumah tertutup rapat. Hening. Bahkan gonggongan anjing pun tak luput dari keheningan itu. Sampai ku temukan satu rumah yang seperti sedang sedikit ada aktivitas. Ku fokuskan perhatianku pada tong sampah di luar pagar. Mulai memilah sampah yang masih bernilai. Tak ku hiraukan pemilik rumah yang sedang sibuk membereskan sepetak halaman rumah. Sedikit berantakan dengan sampah berceceran dan kursi yang bertumpuk-tumpuk tidak rapi.

Aku yakin sudah tidak ada lagi yang bisa diambil dari tong sampah itu. Bertolaklah aku darinya. Baru empat langkah, terdengar ada yang memanggil.

“Hai kang rosok tunggu, ke sini sebentar.” Benar saja. Pemilik rumah tadi yang memanggilku.

Kembalilah aku pada tempat sampah tadi yang dekat dengan pagar itu. Di seberang pagar, perempuan berkulit putih berambut pirang sebahu, lengkap dengan sarung tangan dan masker, perempuan yang memanggilku tadi.

“Anda memanggail saya Bu?,” ku gerakan badanku setengah membungkuk dan senyum menyertai.

“Iya, tunggu sebentar di sini. Aku ada beberapa kardus bekas. Tidak usah kamu bayar, gratis,” ucapnya dengan nada sedikit lebih tinggi dari nada obrolan normal orang pada umumnya.

“Terima kasih,” jawabku. Tidak tahu aku salah apa. Tapi yasudah, aku cuma menurut.

Tidak berselang lama kembalilah perempuan tadi. Membawa setumpuk kardus yang jumlahnya bisa dihitung jari. Aku paham betul, itu kardus bekas minuman ringan.

“Nih dibawa ya, beruntung kamu mampir di depan rumahku, dapat barang gratis.” Ucapnya sambil menyodorkan setumpuk kardus tadi. Ku terima dengan senang hati dan…

“hihihi..” aku tertawa ringan.

“Kenapa tertawa, ada yang lucu?,” tanyanya dengan mata sedikit melotot.

Entah kenapa aku beraninya menjawab dengan niat sedikit guyon.

“Tentu saja gratis Bu, ini hanya beberapa kardus saja. Dibayar pun paling cuma laku dua ribu perak. Hehehe..” aku menjelaskan.

“Dasar tukang rosok tidak tahu diri. Udah dikasih malah ngelunjak,” bentaknya dengan mata yang lebih melotot daripada tadi.

“Maaf bu, saya tidak bermaksud…”

“Cukup, pergi dari sini sekarang juga,” ia memotong. Masih dalam keadaan marah ia melanjutkan..

“Aku tidak mau lebih emosi lagi dari ini. Semalam hajatanku dibubarkan aparat dengan alasan mencegah penyebaran virus sialan itu. Sekarang kamu jangan ikut-ikutan membuatku geram. Pergi! Aku juga tidak mau tertular virus hanya karena berinteraksi dengan orang kotor seperti kamu. Pergi!,” bentaknya dengan nada tinggi. Tangannya menunjuk jauh, pertanda aku harus segera pergi sebelum hal buruk terjadi.

Tanpa pikir panjang aku langsung beranjak dari tempat tersebut. Pergi jauh dari rumah menyeramkan itu. Aku bayangkan, jika sudah menikah, pasti suaminya jarang pulang ke rumah karena takut diterkam istrinya sendiri.

***

Kaki dan roda gerobakku sudah berpijak jauh dari tempat tadi. Ku minta anakku untuk sementara tidak lagi mencari mainan baru di tempat itu. Aku kapok.

Hujan menghampiri senja begitu deras. Berteduhlah kami di bawah fly over. Aku bertanya pada Tuhan, “Tuhan, Engkau tahu kami kehausan sepanjang hari. Tapi apakah artinya kami harus meminum air hujan?.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *