Miliki Tiga Tantangan Demokrasi, Alumni SPM Khawatir Masyarakat Jadi Apatis

Nampak para pemateri pada Diskusi Publik bertajuk "Peluang Politisi Muda di Pemilu 2019".
Nampak para pemateri pada Diskusi Publik bertajuk “Peluang Politisi Muda di Pemilu 2019”. Sabtu, (28/4/2019).

lpminvest.com – Inklusifitas partai politik (parpol) berdampak besar terhadap kemajuan dan kualitas demokrasi. Semakin inklusif partai politik di suatu negara maka semakin berkualitas demokarasi di negara tersebut. Hal ini dinyatakan oleh Abdul Arif, alumni Sekolah Politisi Muda dalam diskusi publik bertajuk “Peluang Politisi Muda di Pemilu 2019” di Citradream, Jl. Imam Bonjol No. 187, Semarang. Sabtu, (28/4/2018).
Menurutnya, inklusifitas tersebut tercermin dalam tatanan perekrutan politik. Parpol harus memberikan kesempatan yang sama bagi siapapun untuk masuk dalam partai untuk membuktikan kinerja dan kualitasnya.
“Siapa yang berkualitas dan paling berdedikasi dan tahan banting, dialah yang tampil. Tidak memandang apakah dia darah biru apa tidak, tidak memandang apakah dia dari keluarga pemilik saham partai atau tidak, tidak memandang apakah dia memiliki kekuatan finacial atau tidak, sepanjang dia memenuhi kriteria kualifikasi yang kualitatif maka dia berhak untuk tampil pada posisi-posisi penting,” terangnya.
Lebih lanjut Arif mengatakan Palpol yang rekrutmen politiknya cenderung tertutup akan menjadi alat yang mewakili kepentingan pihak yang kuat saja. Ini menyebabkan demokrasi Indonesia tidak mampu naik kelas.
Selain rekruitmen politik, yang menjadi tantangan demokrasi lainnya adalah penegakan hukum dan pragmatisme politik. Arif menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia masih tajam ke bawah tumpul ke atas. Masih adanya negosiasi politik di antara para penegak hukum.
Adapun pragmatisme politik berkaitan dengan transaksionalisme. Menurutnya, transaksionalisme merupakan cara berpolitik yang dituntun oleh transaksi. Celakanya adalah kebanyakan para calon menilai bahwa jika tanpa transaksionalisme maka dikhawatirkan tidak dapat menang pemilu.
Hal tersebut menjadi kekhawatiran bagi Arif. Baginya proses demokrasi yang pemilihan umumnya (pemilu) bukan berdasarkan kualitas dan kapasitas para calon, tetapi karena berdasarkan transaksionalisme merupakan racun yag mematikan Indonesia.
Selain itu, ia juga khawatir masyarakat semakin apatis karena wakil-wakil rakyatnya tidak berkualitas karena hasil transaksionalisme politik.
“Lebih bahaya lagi kalau mereka menjadi tidak percaya lagi pada demokrasi. Seperti Jerman, yang karena keapatisan mereka, mereka menyerahkan kedaulatan kepada seorang fasis. Saya khawatir, kalau kita gagal menjawab transaksionalisme ini dua atau tiga pemilu yang akan datang masyarakat akan putus asa kepada elit politik, putus asa kepada demokrasi, bisa berbalik kepada sistem otoriter lagi,” jelas pria berkemeja putih itu. (Amimah-[i])

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *