Oleh: Dewi Widi Astuti
Pagi ini kudapati sebuah hamparan pemandangan yang membuatku tiada hentinya bersyukur kepada-Nya betapa indah apa yang tengah berada di depanku ini, yang tengah kulihat saat ini.
“Subhanallah” desahku dengan melepas nafas setelah merasakan betapa sejuknya udara pagi ini di pondok putri daerah Yogyakarta yang sudah kurang lebih tiga tahun kutempati untuk mendalami ilmu dan Qur’anku. Serta untuk mendalami agama dan menambah rasa taatku kepada-Nya, Sang Illahi Rabbi.
“Fat, Fatimah. Jangan melamun saja!” Seorang gadis cantik mengagetkanku dari lamunan yang beberapa menit kunikmati. Gadis cantik sekamarku yang biasa kupanggil Aisyah. Dia yang baru beberapa bulan tinggal di pondok ini dan belum begitu beradaptasi dengan kawan dan suasana yang ada di sini. Sehingga wajar saja jika aku yang selalu dicari Aisyah karena hanya aku yang dipilihnya untuk dijadikan teman dekat.
Aku kembali ke kamar bersama Aisyah dan memulai aksi komat-kamit mengulang pelajaran yang diajarkan oleh kiaiku beserta dengan nadhom ngajiku subuh tadi.
Tak terasa adzan Maghrib berkumandang.
“Astaghfirullah, aku ketiduran hingga lewat waktu,” desahku dengan suara yang agak mengeras berharap Aisyah yang berada agak jauh di sampingku mendengar dan memulai memberikan alasan karena tidak membangunkanku.
Dan benar.
“Maafkan aku Fat, aku tidak membangunkanmu karena aku tidak tega mengganggu tidurmu yang begitu nyenyak itu,” ucapnya bersalah.
“Ya sudah sekarang kamu ambil wudhu siap-siap sholat yaa. Aku ke aula dulu untuk berjamaah, nanti kamu menyusul. Aku akan menyiapkan tempat di sebelahku untukmu,” ucapnya dengan senyum manis sembari berlalu untuk mengikuti jamaah di aula.
“Assalamu’alaikumwarahmatullah,” kututup sholat Maghribku dengan bacaan salam. Lalu kuberdoa sejenak dan memandang Aisyah yang tengah khusyu’ berdoa di sebelahku. Kutatap gadis itu dengan balutan mukena yang dikenakannya, cantik dengan lesung pipi serta mata sipit yang dimilikinya. Dia terlihat begitu sempurna.
Tak lama setelah aku berpaling meninggalkan wajahnya, dia menatapku dengan tatapan yang penuh dengan tanda tanya besar di kepalanya. “Fat, bolehkah aku bertanya kepadamu?” Sebuah kata yang keluar setelah lama Aisyah menatapku dengan membisu.
“Silahkan!” jawabku sembari tersenyum padanya.
“Kemarin saat di sela-sela pelajaran Pak Kiai bertutur bahwa Allah akan mengampuni segala dosa yang dilakukan oleh hambanya. Apakah itu benar?” tanyanya kemudian.
“Iya. Itu benar!” lantang jawabanku merespon pertanyaannya.
“Tapi apakah Allah akan mengampuni segala dosaku yang sungguh tak terhitung jumlahnya karena terlalu banyak ini?” Tanyanya lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Aku menatapnya dengan penuh teka-teki juga iba.
“Aisyah.. Allah itu sesuai dengan praduga hambanya. Allah itu maha baik, Allah maha pemaaf dan Allah maha segala-galanya. Jadi Allah akan mengampuni segala bentuk dosa-dosa yang kamu perbuat. Segala bentuk kesalahanmu jika kamu mau benar-benar bertaubat dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,” jawabku sambil menggenggam tangannya yang terasa dingin dan mata yang semakin berkaca-kaca. Dia mempererat genggamannya padaku, lalu segera mengganti mukena dengan jilbab hitam kesukaannya dan meninggalkan aula setelah menatapku sejenak dan berterimakasih atas jawabanku.
Aku semakin tak mengerti. Sungguh aku tak mengerti mengapa dia langsung meninggalkanku dan pergi ke aula. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang bertutupkan jilbab warna hitam. Aku pun masih bingung dengan warna hitam sebagai warna kesukaannya. Bahkan di lemari miliknya tak terhitung jumlah koleksi jilbab warna hitamnya. Kadang aku sendiri geli juga melihatnya. Dia juga sering dijenguk oleh lelaki paruh baya seumuran Abi (panggilan Fatimah untuk ayahnya) yang sering dipanggilnya paman. “Astaghfirullah Aisyaah.. aku semakin penasaran denganmu,” gumamku seraya turun dari jamaahku dan menuju kamar.
Saat aku masuk ke kamar dan berniat hendak membersihkannya aku menemui bahwa Aisyah sudah tak ada di sana. Entah kemana dia pergi, namun yang kulihat dia tak menutup lemarinya. Mungkin dia lupa. Kuhampiri lemari dan kututup perlahan. Namun sebelum aku benar-benar membuka lemari tersebut, mataku tertuju pada buku yang ada di atas tumpukan baju miliknya. Di cover buku itu tertulis judul “Istimewanya Islam”. Aku semakin penasaran dengan isinya. Kubuka perlahan, ternyata ada yang jatuh dari dalam sana. Sebuah foto gadis cantik yang mirip dengan Aisyah bersama dengan laki-laki paruh baya yang wajahnya sangat asing menurutku. Juga kalung salib yang sudah patah. Ini semakin menjadi teka-teki. Jujur aku semakin bingung dengan teka-teki ini. Siapa sebenarnya Aisyah, dan mengapa dia mempunyai kalung salib yang semestinya tak ia punyai.
Malam harinya aku tak bisa tidur memikirkan Aisyah yang belum juga kembali ke kamar. Sejenak aku berpikir apakah Aisyah pergi menemui pamannya dan memutuskan untuk keluar pondok atau apalah itu. Ahh… banyak sekali yang menyelimuti pikiranku mengenai Aisyah dan teka-teki di kehidupannya. Beberapa saat aku terpejam dengan pikiran yang masih tak karuan. Tiba-tiba ada yang datang dan tidur di sebelahku. Dan kulirik ternyata itu Aisyah. Aku masih tak berkutik dari tempatku semula. Kukeraskan suara nafasku agar Aisyah mengira aku benar-benar sudah tertidur pulas.
Tak lama kemudian terdengar isakan dari sebelahku yang ternyata Aisyah. Kupikir dia sudah nyenyak tertidur. Namun nyatanya dia masih terjaga dengan pikiran yang entah apa yang sedang ada di kepalanya. Aku terbangun dan dengan sigap kulihat dia.
“Ada apa Aisyah? Mengapa kamu menangis?” tanyaku padanya sembari menempatkannya dalam dekapanku agar dia lebih tenang.
“Fatimah.. Aku tak layak berada di sini. Aku perempuan yang penuh dengan dosa,” ucapnya yang masih tak berhenti terisak. “Fat.. Aku tak pantas diampuni oleh Allah. Dosaku sudah terlampau banyak,” ucapnya kemudian.
Aku menatap Aisyah yang masih tak henti-hentinya menangis.
Aisyah menatapku dengan penuh harap agar aku mau mendengarkannya sampai selesai.
“Aku sebenarnya bukanlah seorang muslim seperti yang kamu pikir. Namaku bukanlah Aisyah Azahra melainkan Yona Andara Cristiana. Aku lari saat wisuda penginjil. Karena ayahku yang ingin aku menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak aku sukai. Aku datang ke rumah paman dan paman menyembunyikanku di sini. Jujur Fatimah, aku nyaman sekali tinggal di pondok sederhana ini. Aku senang bertemu denganmu, aku senang belajar bersamamu, dan aku senang mengenal semua yang ada di sini. Terutama Islam. Di agamaku banyak pertanyaan yang tak aku temukan jawabannya,” katanya dengan masih terisak.
Dugg. Rasanya ada batu besar yang menghantam dadaku saat ini. Ada petir yang menyengat pikiranku malam ini. Aku tak percaya ternyata Aisyah bukanlah saudara sesama muslimku. Dia beda agama denganku. Astaghfirullah, Aisyah ternyata menjawab teka-teki yang selama ini menjerat di pikiranku dengan jawaban yang tak pernah kuduga sebelumnya. Jujur, aku tak mampu berkata-kata mendengar semua ini. Aku masih tak percaya.
Aisyah menatapku dengan masih terisak. Dia menggenggam tanganku “Fatimah.. ajari aku tentang Islam. Aku ingin taat kepada Allah sepertimu. Aku ingin patuh pada perintah Allah dan aku ingin masuk Islam agar Allah mengampuni dosaku sewaktu kafir dulu. Fatimah tolong bantu aku,” ucap Aisyah dengan diikuti tangisan yang semakin keras dan tak tertahan.
Aku pun ikut menangis. Aku tak percaya apa yang baru saja kudengar. Aku tak percaya mengenai keputusan Aisyah yang dengan sekejap mencintai Islam.
Sebelum subuh kuantar Aisyah menemui Pak Kiai. Aisyah pun menceritakan semuanya pada Pak Kiai. Setelah mendengar cerita Aisyah, Pak Kiai menuntun Aisyah masuk Islam. Subhanallah aku tak percaya bahwa Subuh pertama Aisyah masuk Islam mengantarnya pada hidayah dan sujudnya mengandung cahaya taubat dari kekafiran sewaktu dulu.