Lebaran Tanpa Mudik

Oleh: Hasna Aulia Kru Lpm Invest
Oleh: Hasna Aulia
Kru Lpm Invest

Bukan hanya baju baru, angpau, bingkisan, atau kue kering. Mudik juga salah satu prioritas yang dipersiapkan masyarakat Indonesia menjelang lebaran (Idul Fitri). Di mana tradisinya, para perantau baik yang bekerja maupun yang berjihad mencari ilmu berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk menikmati lebaran bersama keluarga. Uniknya, boleh jadi hal ini hanya terjadi di Indonesia.

Konon tradisi mudik sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Pada masa itu, para pejabat yang ditempatkan di berbagai wilayah pulang untuk menemui raja dan melepas rindu dengan keluarga di kampung halamannya. Namun istilah mudik baru santer di tahun 1970-an.

Kalau kata orang Jawa, mudik merupakan singkatan dari “mulih dilik” yang artinya pulang sebentar atau sementara. Ada juga yang mengatakan kepanjangan mudik ialah “mulih disik” artinya pulang dulu. Maksud “pulang” di sini adalah untuk menemui keluarga di rumah setelah sekian lama merantau. Tidak berbeda, mudik bagi orang Betawi dimaknai “kembali ke udik”. Udik berarti kampung. Jadi maksudnya pulang ke kampung halaman. Berangkat dari situlah istilah pulang kampung mengalami penyederhanaan bahasa dari udik menjadi mudik. (Silverio, 2018)

Lalu bagaimana mudik bisa menjadi ritual tahunan dan euforia tersendiri di Indonesia? Begini, faktor yang paling mungkin dan logis adalah karena banyaknya orang merantau dari desa ke kota. Banyaknya perpindahan (migrasi) inilah yang membuat mudik terasa massal terjadi menjelang lebaran.

Walaupun ada beberapa faktor migrasi seperti faktor demografis, geografis, dan psikologis. Tapi menurut Bambang dalam jurnalnya (Mudik Lebaran, 2011), faktor yang paling mendukung masyarakat Indonesia migrasi dari desa ke kota adalah faktor ekonomi. Sebagian besar orang melakukan migrasi untuk mendapatkan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan demi memperbaiki nasib.

Namun bukan hanya para pekerja yang ingin memperbaiki nasib, para pelajar yang menuntut ilmu di luar daerah tempat tinggalnya (biasanya mahasiswa dan santri) juga turut merasakan euforia mudik. Setelah sekian lama belajar di kota orang, momen paling ditunggu-tunggu adalah mudik menjelang lebaran, walaupun mungkin mereka bisa saja pulang di hari-hari libur biasa.

u

Sensasinya tentu berbeda, ketika mudik lebaran mereka harus siap siaga berebut membeli tiket transportasi jauh-jauh hari. Seperti yang kita tahu, tiket transportasi khususnya jalur darat bisa ludes terjual bahkan dua minggu sebelum lebaran. Bukan benar-benar habis, hanya saja semakin mendekati lebaran harga tiket semakin mahal.

Sedangkan pelajar yang mudik menggunakan kendaraan pribadi seperti motor, tidak kalah seru sensasinya. Semakin mereka pulang mendekati lebaran, akan semakin merasakan nikmatnya macet dan puasa di jalanan. Tapi di balik itu, ada sisi unik dan menggelitik yang membuat saya tak habis pikir.

Mereka para pemudik yang memakai motor memasang tulisan-tulisan lucu di tas punggung, barang bawaan, dan di tempat-tempat lain yang bisa dengan jelas dibaca orang. Misalnya tulisan “Mak, aku muleh. Sepurane mak, aku mung iso gowo tas, durung iso gowo mantu”. Satu lagi, tulisan yang sangat visioner dan tidak kalah menggelitik yaitu “Mudik tahun iki lagi iso gowo S2. Bismillah tahun ngarep iso gowo S3 (istri)”. Kreatif dan segar memang, mungkin hal tersebut menjadi hiburan tersendiri dikala macet sambil menahan lapar dan dahaga.

Begitulah serba-serbi mudik. Para perantau rela melewati situasi-situasi yang tidak mengenakkan demi bisa berkumpul bersama keluarga saat lebaran. Maka seperti yang dikatakan Bambang (2011), bahwa mudik lebaran bagi masyarakat Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu ibadah atau ritual tahunan yang tidak boleh dilanggar.

Memilih Tidak Mudik

Ternyata, mudik yang disebut sebagai ritual tahunan wajib bagi masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya benar. Buktinya ada beberapa orang yang memilih menetap di perantauan dan rela merayakan lebaran jauh dari keluarga.

Berdasarkan pengamatan dan dialog saya dengan orang-orang yang memilih tidak mudik saat lebaran, saya dapat mengategorikan mereka menjadi tiga tipe. Pertama, tipe pekerja tangguh. Mereka biasanya orang-orang desa yang terdesak kebutuhan ekonomi. Oleh karena diiming-imingi upah yang berkali-kali lipat, mereka rela lembur di saat yang lain libur. Mereka rela tidak mudik demi mencukupi kebutuhan yang mendesak dan menghidupi keluarganya.

Kedua, tipe perantau tetap. Tipe ini adalah perantau-perantau yang sudah terlalu lama tinggal di perantauan dan memutuskan untuk menetap. Maka biasanya tipe ini sudah berusia lanjut. Ketika saya bertanya alasan mereka enggan untuk mudik, jawabnya balik bertanya, “mau mudik ke mana?”. Saya mencoba husnudzon, mungkin saja sanak saudaranya juga perantau semua. Atau kemungkinan terburuknya, orang tua mereka memang sudah tiada. Sehingga mereka memilih tinggal daripada mudik tapi sama saja sepi dan merusak suasana hati.

Ketiga, tipe mahasiswa. Tipe ini yang paling memprihatinkan bagi saya. Mana ada orang tua yang enggan berkumpul dengan anaknya saat lebaran. Pun sebaliknya, mana ada anak yang ingin jauh dari orang tuanya saat lebaran. Tipe ketiga ini biasanya mahasiswa yang merantau antar-pulau maupun antar-negara.

Ada beberapa alasan yang mereka utarakan ketika saya berdialog dengan mereka, antara lain: tiket pesawat mahal. Ya, tiket pesawat bisa mencapai jutaan rupiah menjelang lebaran; tanggungan kuliah. Kebanyakan mahasiswa memilih untuk pulang setelah ujian akhir semester; pulang ke rumah saudara. Biasanya para perantau memiliki saudara yang tinggal dekat dengan daerah rantaunya. Mereka lebih memutuskan pulang ke rumah saudaranya daripada harus mudik dan menghabiskan banyak duit.

Menurut pengakuan tiga tipe di atas, sesungguhnya mereka sangat ingin mudik dan lebaran bersama keluarga. Namun mereka rela menahan rindu demi keputusan terbaiknya. Mereka inilah pemilik jiwa yang tangguh. Terlepas dari semua itu, hemat saya, mudik tidak mudik bukanlah perkara wajib, yang terpenting minal ‘aidin walfaizin yakni jiwa kita meraih kemenangan setelah sebulan berpuasa dan hati kita bisa mudik (kembali) ke fitrah (suci). Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *